Sabtu, 16 Juli 2011

GEMERISIK KIDUNG MALAM By Larung Biru

Tidurlah…’, katanya

Aku enggan jika ia sudah berkata seperti itu.
Aku diam tak menjawab. Kutatap langit begitu nanar memandangi bulan
seolah memintanya untuk lebih menerangi bumi yang dikelilingi kelam.
Gemerisik angin menyapu ilalang-ilalang di sekitar GUBUK

Meliuk-liuk hingga berdesis menyenandungkan kidung malam.
Kegelisahan gerak mereka membuatku mempunyai teman untuk berbagi kisah hati.
Ingin kuajak semua abdi malam untuk menggenderangkan tabuh meneriakkan sajak-sajaknya.
Tapi sekuat apapun hatiku menginginkan, pinta tak sanggup tersebut lewat lisanku.

Unggun menyala terang di depan Gubuk.
Dinginnya malam tak terasa karena tinggi jalar apinya.
Dia masih sibuk melemparkan ranting-ranting kering dalam kobaran api.
Sesekali menoleh padaku yang sudah mulai terangguk-angguk menahan kantuk.
Setelah semua tumpukan ranting di depannya habis masuk ke dalam unggun,
Ia berbalik ke arah Gubuk tempat aku menunggunya.
Beberapa saat ia kembali memandangiku,

‘Pergilah tidur…’, ulangnya

Aku menoleh membalas pandangannya.
Dalam Setengah berbisik, kupaksa agar suaraku terdengar jelas,

‘Jika saja kau dengar apa yang dibisikkan hatiku saat ini…’

Diam....

Tiba-tiba aku merasa angin berhembus meniup tengkukku.
Lekat dia memandang dengan senyuman khasnya,

‘Sayang… kau tahu, ???
kau lah cerita tertulis dengan pasti selamanya dalam pikiranku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar