Pagi nampak mendung di teras rumahmu
Pintu tertutup rapat seolah tak ingin menerima tamu
Entah siapa yang mengundangku untuk bertandang ke istanamu
Kelam itu sudah kucium dari balik jendela juga daun pintu yang muram
Pagar rumahpun terasa berlumuran air mata
Sebelum kau sambut aku dengan pelukan gundah
Pagi bak berselimut mendung
Sementara mentari bersinar di cakrawala
Ada apa denganmu berbaju hitam legam bagai berduka cita
Sejenak bibirmu bergetar tak mampu memulai kata
Air matamu menetes deras hangatnya menyentuh dinding hatiku
Sekiranya aku melihat air matamu bak anak sungai berdarah
Mendung itu sudah menuai badai setelah sekian musim kau simpan
Pagi membuatku mengigil tentang duka seorang kawan untuk perih tak berakhir
Bukan tentang kematian jiwa melainkan kematian batin yang terluka
Semestinya aku hadir untuk becerita tentang semirip keluh
Tapi Pintu dan jendelamu kurasa bagai terlis api
Sementara pelataran terasmu penuh bara yang siap menghanguskan tubuhmu
Baiklah aku siap menjadi tempat sampahmu
karena aku tau betapa sesak hatimu
Otakkupun tak sanggup menanggung
Setiap kisah yang kau percayakan kepadaku
Sungguh kau sanggat tegar kawan
Tak sanggup kuberkata kata
Sesungguhnya aku tak sanggup mendengar
Tapi hanya itu yang bisa aku berikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar